Sungguh indah, pantai balekambang ini. Dengan hamparan pasir putih nan indah,
hijaunya nyiur di pantai, tiupan angin yang mendayu-dayu pakaian yang
kukenakan, lanscape sunset yang mengingatkanku akan kenangan masa lalu
aku bersama suamiku, semuanya lengkap tertata di depan mataku kali ini.
Ya, aku seorang diri di sini, berharap berlari menjauh dari semua
masalah yang kini sedang menghantui diriku. Padahal aku tahu, suamiku
masih berharap aku kembali dalam dekapan hangatnya.
Meski
aku berusaha melupakan sejenak permasalahan ini, tetap saja
permasalahanku begitu angkuh hadir dalam bayang-bayang ingatan ini.
Indahnya pantai Nias tak juga bisa merubah akan kegundahan hatiku. Air
mata ini meleleh jatuh satu demi satu tak terelakkan lagi, saat ku
teringat apa yang sedang terjadi antara aku dan Alexa, suamiku. Haruskah
kuhapus kenangan manis itu ? Sebuah pertanyaan yang tak pernah bisa aku
jawab sampai kini.
Jika dirunut ulang, kisah awal cinta kami
berdua begitu indah dan kuat. Ia teramat setia bagiku. Penantiannya
begitu kuat, saat dia menikahiku setelah aku menyelesaikan kuliah S1-ku
di perguruan tinggi Negeri terkemuka di Jogja. Padahal, baginya begitu
mudah mencari gadis lain pengganti diriku, mengingat Alexa memiliki
postur tubuh ideal dan ketampanan yang tak diragukan lagi. Apalagi, dia
sudah menjadi seorang yang mapan, dengan bekerja di sebuah perusahaan
bonafit dengan jabatan yang karriernya sedang beranjak naik. Ah, Wanita
mana yang tak melirik dirinya !
Antara Jakarta dan Jogja, meski
jarak memisahkan aku dengannya, cinta kami berakhir pada sebuah
pernikahan yang indah. Jalinan kasih yang begitu teramat kuat selalu
menyertai kehidupan kami setelahnya. Tahun-tahun pertama dan kedua
pernikahan kami nampak begitu bahagia. Aku dan Alexa begitu mabuk dalam
keindahan kasih yang begitu dalam.
Namun di tahun ketiga mulailah
aral yang tiada pernah aku kira sebelumnya. Kami belum dikaruniai
seorang anak. Mungkin Tuhan belum mempercayakan kami, mungkin perjuangan
kami belum cukup selama ini. Kegundahan ini membuatku gelisah, sekecil
apapun bisa menjadi pertengkaran-pertengkaran yang sulit dihindari. Aku
menjadi seorang yang sangat sensitif. Bagaimana mungkin buah cinta hadir
jika kami saling bertengkar ?
Tapi, Alexa begitu tegar. Di
setaip marahku, ia selalu menjadi pahlawan bagiku. Di pagi hari, kala
aku membuka mata, semuanya telah terhidang manis di meja makan. Dari
Nasi, lauk pauk dan minuman hangat semuanya sudah siap untuk disantap
untuk kita berdua. Seisi rumah juga sudah rapi dan bersih. Alexa sudah
mengepel lantai dengan keharuman karbol yang kami suka. Tapi, lagi-lagi
aku begitu angkuh padanya, hingga wajahku masih berkerut tanpa senyuman
sedikitpun. Aku masih marah ! Rupanya Alexa begitu sabar padaku. Ia sama
sekali tak menyerang balik kekonyolanku. "Hayuk kita makan, sayang !"
Akhirnya aku luluh juga akan panggilan sayangnya untukku.
Di
suatu malam saat kami terbaring di kamar pembaringan kami, kuberanikan
diri meminta Alexa, "Gimana kalau kita angkat seorang anak yang kita
ambil dari panti asuhan ?" Alexa seperti kebingungan, tampak sekali jika
raut wajahnya tak menyetujui aku. Ia hanya menggeleng-gelengkan kepala
tanpa ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Kami saling membisu
diantara pecahnya malam yang senyap. Kembali aku dalam hati yang penuh
dengan ketidak pastian.
Keesokan harinya aku semakin galau.
Amarahku semakin membuncah, namun tak pernah mampu kulepaskan. Dada ini
terasa sesak sekali. Lagi-lagi Alexa bersikap manis padaku. Akhirnya
semua kuakhiri. Aku pergi meninggalkan Alexa seorang diri. Karena Alexa
kuanggap tidak mau menuruti kemauanku. Mungkin aku terlalu egois, tak
mau bersabar bersama Alexa. Alexa begitu sayang padaku, perhatiannya,
kesetiaannya sangat jauh dibanding diriku. Teganya aku jika
meninggalkannya seorang diri. Namun Egoku nyatanya lebih tinggi. Aku
lebih condong mengikuti kemauan burukku. Mungkin dengan aku pergi, kita
akan mampu sama-sama saling introspeksi diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar